“Nis.., kamu nggak sekolah?, udah jam tujuh lewat sayang”, suara mama membangunkan putri kesayangannya.
Nisa kaget setengah pingsan. Apa, udah jam tujuh lewat? oh my god.. telat lagi dah gue!, batin Nisa. Tanpa basa-basi lagi, Nisa lalu menyambar handuk berwarna pink yang selalu tergantung didekat kamar mandinya. Beberapa menit kemudian, Nisa sudah mengenakan seragam putih abunya, tapi tetap dengan rambut acak-acakkan karena belum disisir dan selalu, tanpa kaos kaki. Untungnya, sekolah Nisa adalah salah satu sekolah yang mewajibkan seluruh siswanya untuk mengenakan baju lengan panjang, rok panjang dan tentunya kerudung. Nisa pun mau tak mau harus mengenakannya juga, walaupun sebenarnya sejak awal Nisa tidak suka mengenakan pakaian seperti itu, gerah! katanya. Dan pagi ini, tanpa dia sadari bahwa ternyata kerudung yang ia kenakan itu telah menyelamatkannya. Paling tidak rambutnya yang acak-acakkan tidak akan terlihat teman-temannya hingga pulang sekolah nanti.
“Ma, pa.. Nisa berangkat!”, tanpa salam. Duh, Nisa..
“Eee, Nisa kamu nggak sarapan nak?”, teriak mama.
Tapi, teriakan mama sia-sia. Nisa sudah tak terlihat, tak ada jawaban atas pertanyaan mama. Nisa buru-buru melangkahkan kaki ke dalam garasi, kemudian mengambil motornya dan wesss! Ngebut, mengalahkan angin pagi yang sejuk ini.
“A.. a.. ass.. Assalamu’alaikum, pagi bu”, Nisa tergagap ketika tiba di depan kelasnya.
“Wa’alaikum salam. Silahkan masuk”. Wajah ramah yang belum pernah dilihat Nisa sebelumnya, menjawab salamnya. Dengan ekspresi muka yang sejuk dan tidak galak, sama sekali berbeda, tak seperti yang dilihatnya selama ini.
Waw…, wanita ini beda banget. Gue telat nggak dimarahin, nggak kayak guru-guru lainnya. Kalau tau gini, gue nggak usah buru-buru aja tadi. Batin Nisa.
“Makasi Bu”, jawab Nisa singkat.
Lalu Nisa melangkah menuju tempat duduknya dengan perasaan lega. Di sebelahnya, gadis imut dan solehah yang sejak tadi cemas memikirkan dirinya, juga merasa lega melihat Nisa sudah ada di sebelahnya. Padahal sejak tadi, dia berdoa semoga hari ini Nisa tidak terlambat, agar tidak diomelin lagi oleh gurunya. Tapi, harapan gadis manis bernama Salsa itu, pupus sudah. Ketika dia tidak melihat batang hidung Nisa saat bel masuk berbunyi.
“Uhhh, aduh Nis.. kamu telat mulu. Ngapain aja sih, ampe telat bangun gitu. Heran aku ama kamu?”, Salsa memulai percakapan pagi itu walaupun dengan bisik-bisik. Maksudnya agar suara mereka tidak terdengar oleh bu guru.
“He…”, Nisa cengar cengir menanggapi pertanyaan sahabat baiknya itu.
Kini perhatiannya tertuju pada sosok manis dan ramah didepannya. Sedang menerangkan materi pelajaran hari ini, ilmu sosial!. Yups, pelajaran yang sama sekali tidak menarik minatnya untuk memahami ilmu satu ini. Dia merasa bahwa ilmu sosial itu adalah ilmu yang mudah dipahami, sehingga tak perlu diseriusi dalam mempelajarinya. Yang perlu dipelajari menurutnya adalah ilmu-ilmu eksak semacam matematika, fisika, dan sebagainya. Tapi, hari ini berbeda. Nisa tidak pernah seserius ini memperhatikan penjelasan dari Bu Nia, guru baru disekolahnya. Satu-satunya guru yang memperlakukan siswanya yang terlambat dengan sangat baik dan tidak galak (menurut Nisa). Ada apa denganmu Nisa?, kata hatinya.
Waktu berjalan begitu cepat hari ini dan bel pun berbunyi sudah. Tanda jam sekolah telah habis, seluruh siswa berhamburan seperti luapan air bah yang membanjiri jalan raya dekat sekolah. Tidak ketinggalan Nisa, ups! Tapi kali ini Nisa pulang tanpa Salsa. What’s the matter with them?.
“Nis, Salsa mana. Kok nggak pulang ama lo?”, tanya Adri. Anak kelas sebelah yang sejak pindah ke sekolah Nisa dua bulan yang lalu, menyimpan rasa suka kepada Salsa. Tapi, sampai saat ini cewek jilbaber itu tidak tahu bahwa Adri menyimpan perasaan semacam itu terhadapnya.
“O, tadi dia bilang ke gue lok dia mau buru-buru pulang soalnya mau bantuin ibunya. Emang kenapa lo nanya-nanya?”, ketus.
“O, nggak gue cuma heran aja, tumben lo berdua nggak pulang bareng. Kalo gini kan gue bisa nebeng ma lo”, Adri cengengesan.
“Enak aja lo. Tapi boleh deh, naik dah. Kasian juga gue ama lo”, kata Nisa membolehkan.
***
Pagi ini sungguh mengejutkan bagi seisi kelas Nisa. Nisa datang pagi sekali dan itu artinya, pagi ini dia tidak telat. Waw.. it’s amazing!, satu per satu teman-temannya menyalami dan memberikan ucapan selamat kepadanya.
“Selamat ya, hari ini kamu nggak telat”, begitulah bunyi ucapan yang dilontarkan oleh teman-teman Nisa.
“Eh.. iya, makasi”, jawaban Nisa untuk setiap ucapan teman-temannya.
Dalam hati Nisa tersipu sekali, malu dengan tingkahnya selama ini. Telat, telat dan telat. Tapi, ada yang menggangu pikirannya hari ini. Salsa mana ya, kok tumben tuh anak nggak datang cepat?. Batinnya.
Ya, hari ini Salsa tidak seperti biasanya. Padahal Nisa berharap sekali bahwa orang yang pertama mengucapkan selamat karena hari ini dia datang ke sekolah sebelum bel masuk berbunyi adalah Salsa, sahabat baiknya. Tapi harapannya tidak akan terwujud, karena Salsa hari ini tidak masuk. Nisa mulai khawatir dengan sahabatnya itu. Salsa kenapa ya, kemarin pulang cepat-cepat dan sekarang nggak masuk?. Nisa tidak konsentrasi pada pelajaran hari ini, dia terus saja memikirkan Salsa karena tidak biasanya Salsa bersikap seperti itu.
Salsa sungguh membuat Nisa cemas memikirkannya. Nisa sangat heran dan ingin tahu apa yang terjadi pada Salsa hingga dia tidak masuk, padahal pelajaran hari ini adalah pelajaran yang paling dia sukai, Bahasa Indonesia. Akhirnya, Nisa memutuskan untuk ke rumah Salsa pulang sekolah nanti.
“Nis.., boleh nebeng ga, gue nggak bawa motor nih?”, kata Adri.
“Duh, sorry Dri, gue mau ke rumahnya Salsa nih. Lain kali aja ya lo nebengnya. Hari ini lo jalan kaki aja dulu ya. Daa..”, Nisa ngebut dan tidak memberi kesempatan untuk Adri bicara lebih banyak, karena dia tahu bahwa Adri adalah cowok yang cerewet. Good choice!
Nisa tidak menemukan siapapun setelah ia coba mengetuk pintu rumah Salsa yang sudah sangat rapuh. Rumah reot itu terlihat semakin menyeramkan jika sepi tak berpenghuni seperti itu. Sungguh, hati Nisa rasanya sakit melihat keadaan sahabatnya seperti itu, dia ingin melakukan sesuatu untuk Salsa, tapi ia tak berdaya karena Salsa tidak ingin lebih merepotkan Nisa lagi.
Tidak menemukan seorang pun di rumah Salsa membuat Nisa makin cemas, cepat-cepat dia melangkahkan kakinya menuju rumah tetangga salsa yang kira-kira berjarak satu meter dari rumah reot itu.
“Assalamu’alaikum, permisi bu..”
“Wa’alaikumussalam, cari siapa neng?”, seorang ibu yang rambutnya telah beruban sebagian menjawab salam Nisa dan menghampirinya.
“Maaf bu, orang yang tinggal dirumah itu pada kemana ya?. Kok sepi banget”, tanya Nisa sambil mengarahkan telunjuknya ke rumah Salsa.
“Oo, kemarin mereka ke rumah sakit. Bu Imah sakitnya sudah parah, makanya di bawa ke rumah sakit oleh anaknya”
“Ke rumah sakit?, ya udah bu. Makasi, Assalamu’alaikum”, Nisa langsung pergi begitu saja tanpa menunggu jawaban atas salamnya.
Perasaan Nisa bercampur aduk. Sedih, panik, dan takut. Tapi, hal itu tidak mampu menghalanginya untuk membawa motor kesayangannya dengan sekencang-kencangnya, apalagi dalam kondisi yang menurutnya sangat mendesak seperti sekarang ini. Dalam perjalanan, dia terus berpikir tentang Salsa dan ibunya. Apa yang akan terjadi dengan Salsa seandainya tante Imah-begitu dia memanggil ibunya Salsa-tidak bisa diselamatkan. Ibu adalah satu-satunya keluarga Salsa yang masih tersisa, setelah di tinggal ayahnya lima tahun silam. Tak sadar, Nisa meneteskan air matanya dan semakin menambah kecepatan laju motornya. Ya Allah, selamatkan tante Imah!. Batinnya.
***
“Innalillahi wa inna ilaihiroji’un..”, Salsa meneteskan air mata sambil mengucap kalimat tersebut. Ia tak kuasa menahan air matanya yang sudah terbendung sejak dua hari yang lalu. Ia tak ingin menangis di depan ibunya, karena hal itu hanya akan membuat ibunya semakin merasa sakit. Tapi, hari ini ia tak berdaya ketika ia harus meluapkan bendungan air mata itu, ia merasa tak sanggup lagi membendungnya. Ibunya telah meninggal.
Nisa yang baru saja sampai di depan ruang rawat ibunya Salsa, pun tak dapat membendung air matanya. Nisa yang selalu tegar dan merasa air mata adalah tanda kelemahan, hari ini menangis juga, ketika ia menyaksikan sahabatnya kehilangan orang yang paling berharga dalam hidupnya. Ia tak sadar menjatuhkan helm yang dibawanya sejak tadi, hal itu mengagetkan Salsa. Salsa menoleh kebelakang dan langsung memeluk Nisa, sahabat baiknya yang selama ini membantunya dan ibunya.
“Innalillahi..”, suara Nisa lirih.
***
Seminggu setelah ibunya meninggal, Salsa masuk sekolah lagi. Dan, teman-temannya menyambut dengan hangat.
“Yang tabah ya Sa”, bu Nia mengucapkan rasa empatinya.
“Ya, bu makasi”, jawab Salsa singkat.
Lalu, bu Nia memulai pelajaran. Nisa begitu serius mendengar penjelasan dari bu Nia. Diam-diam, Salsa tersenyum melihat tingkah sahabatnya itu, yang menurutnya sudah sedikit berubah. Bu Nia benar-benar sudah mengubah sikapnya.
“Baik, anak-anak. Ada pertanyaan?”, kata bu Nia.
Pertanyaan bu Nia membuyarkan lamunan Salsa dan ia buru-buru mengacungkan tangan kanannya.
“Ya, Salsa?”
“Bu, ibu kan baru dua minggu di sekolah ini. Tapi, saya lihat ibu beda banget. Sejak pertama mengajar, kami udah suka sama ibu. Berbeda dengan guru-guru baru lainnya, kami butuh waktu berbulan-bulan untuk bisa klik sama mereka. Beda banget sama ibu. Bahkan, Nisa aja yang benci banget sama ilmu sosial malah setelah diajar ibu, jadi suka dan nggak telat lagi. Apa sih rahasianya bu?. Itu aja yang mau saya tanyakan. Terima kasih”
Pertanyaan Salsa membuat kelas menjadi gaduh. Wajah Nisa memerah karena namanya dibawa-bawa dalam pertanyaan Salsa. Bu Nia pun tersenyum mendengar pertanyaan cewek jilbaber yang baik hati itu.
“Ya, bu apa rahasianya?”, kata teman-temannya mendukung.
“Oke, pertanyaannya bagus. Tapi, pertanyaan Salsa bikin ibu pusing. Gimana ya?, nggak ada rahasia sih ya. Ibu cuma berusaha tetap menjadi diri ibu, berusaha dekat kepada kalian, terus jangan lupa senyum dan yang paling penting dari semuanya adalah, ikhlas!. Ya, dengan keikhlasan kita akan menjadi orang sabar, tenang dan insyaallah menyenangkan, disukai banyak orang. Insya Allah itu jawabannya Sa”, bu Nia memandang kearah Salsa.
Salsa mengangguk tanda paham dan setuju dengan apa yang diucapkan oleh bu Nia. Seisi kelas sunyi mendengarkan jawaban dari bu Nia dan tak disadari, pelajaran hari itu sudah selesai.
“Sa, gue mau nanya ma lo, tapi lo jangan marah ma gue. Oke”. Nisa memulai obrolan dengan Salsa di kantin belakang sekolah, sebelum mereka akhirnya akan pulang.
“Mm, oke”, jawab Salsa tetap menunduk menikmati soto yang dipesannya.
“Gini, ngng.. tante Imah kan, baru seminggu yang lalu nih meninggal. Tapi, lo kok biasa aja ya, nggak sedih lagi kayak waktu tante meninggal?. Sorry sebelumnya”, tanya Nisa dengan sangat hati-hati.
Salsa tetap tenang menanggapi pertanyaan sahabatnya yang tidak suka basa-basi itu. Dia tersenyum lalu menjawab pertanyaan Nisa.
“Keikhlasan, Nisa!. Seperti kata bu Nia tadi, kalau kita ikhlas insyaallah kita akan jadi orang yang sabar, tabah dan tenang. Nggak Cuma terhadap cobaan tapi juga terhadap nikmat yang kita dapat. Kita adalah milik Allah dan tentu kita bakal kembali lagi ma Allah. Cuma mungkin, ibu emang yang duluan. Jadi, nggak ada alasan untuk sedih dan marah kepada pemilikNya jika Dia udah mau ngambil milikNya kembali. Ya kan, Nis?”
Subhanallah, jawaban Salsa itu tidak mampu membuat mulut Nisa mengatakan apapun lagi. Dia merasa malu kepada Allah, karena selama ini dia jarang mensyukuri nikmat yang didapatnya bahkan selalu saja mengeluh kepada orangtuanya jika kemauannya tidak terpenuhi. Dia menundukkan wajahnya di depan Salsa dan air matanya menetes, lagi. Ia menyesal atas perbuatannya selama ini. Yang selalu bersikap manja dan menyusahkan orangtuanya.
“Sa, gue beruntung banget punya sahabat kayak lo. Seandainya gue bisa sesabar dan setabah lo, mungkin orang tua gue nggak bakalan susah begini dengan sikap gue yang selalu manja sama mereka”, ucap Nisa dengan suara sedikit gemetar karena menangis.
Salsa tersenyum mendengar ucapan sahabat “manja”nya itu. Melihat senyuman Salsa itu, Nisa semakin malu dan merasa sangat bersalah kepada kedua orang tuanya. Ia bertekad akan berusaha mengubah sikapnya yang menurutnya membuat orangtuanya susah.
“Hidup tu untuk ibadah neng, bukan cuma buat senang-senang aja tau, makanya jadi orang tu yang disiplin, jangan telat mulu. Ilmu itu berharga banget lo Nis, kalau udah mati. Yang ikut sama kita tu, ya ilmu kita, bukan harta atau sejenisnya. Ilmu juga dapat nyelametin kita dari kejahatan. Jadi, jangan telat lagi ya, nona Nisa yang hobi tidur. Hehe..”, Salsa mencoba menghibur Nisa yang sedang menyesali perbuatannya, sambil menghapus air mata Nisa.
Nisa tersenyum simpul, lalu memeluk Salsa seraya mengucap terima kasih. Mereka larut dalam tangis haru, yang akan membuat mereka lebih ikhlas dengan apa yang ada pada diri mereka.
°º¤«» £@К@ «»¤°º