Jumat, 12 Agustus 2011 - 0 comments

Keikhlasan itu, Nisa!

“Nis.., kamu nggak sekolah?, udah jam tujuh lewat sayang”, suara mama membangunkan putri kesayangannya.
Nisa kaget setengah pingsan. Apa, udah jam tujuh lewat? oh my god.. telat lagi dah gue!, batin Nisa. Tanpa basa-basi lagi, Nisa lalu menyambar handuk berwarna pink yang selalu tergantung didekat kamar mandinya. Beberapa menit kemudian, Nisa sudah mengenakan seragam putih abunya, tapi tetap dengan rambut acak-acakkan karena belum disisir dan selalu, tanpa kaos kaki. Untungnya, sekolah Nisa adalah salah satu sekolah yang mewajibkan seluruh siswanya untuk mengenakan baju lengan panjang, rok panjang dan tentunya kerudung. Nisa pun mau tak mau harus mengenakannya juga, walaupun sebenarnya sejak awal Nisa tidak suka mengenakan pakaian seperti itu, gerah! katanya. Dan pagi ini, tanpa dia sadari bahwa ternyata kerudung yang ia kenakan itu telah menyelamatkannya. Paling tidak rambutnya yang acak-acakkan tidak akan terlihat teman-temannya hingga pulang sekolah nanti.
“Ma, pa.. Nisa berangkat!”, tanpa salam. Duh, Nisa..
“Eee, Nisa kamu nggak sarapan nak?”, teriak mama.
Tapi, teriakan mama sia-sia. Nisa sudah tak terlihat, tak ada jawaban atas pertanyaan mama. Nisa buru-buru melangkahkan kaki ke dalam garasi, kemudian mengambil motornya dan wesss! Ngebut, mengalahkan angin pagi yang sejuk ini.
“A.. a.. ass.. Assalamu’alaikum, pagi bu”, Nisa tergagap ketika tiba di depan kelasnya.
“Wa’alaikum salam. Silahkan masuk”. Wajah ramah yang belum pernah dilihat Nisa sebelumnya, menjawab salamnya. Dengan ekspresi muka yang sejuk dan tidak galak, sama sekali berbeda, tak seperti yang dilihatnya selama ini.
Waw…, wanita ini beda banget. Gue telat nggak dimarahin, nggak kayak guru-guru lainnya. Kalau tau gini, gue nggak usah buru-buru aja tadi. Batin Nisa.
“Makasi Bu”, jawab Nisa singkat.
Lalu Nisa melangkah menuju tempat duduknya dengan perasaan lega. Di sebelahnya, gadis imut dan solehah yang sejak tadi cemas memikirkan dirinya, juga merasa lega melihat Nisa sudah ada di sebelahnya. Padahal sejak tadi, dia berdoa semoga hari ini Nisa tidak terlambat, agar tidak diomelin lagi oleh gurunya. Tapi, harapan gadis manis bernama Salsa itu, pupus sudah. Ketika dia tidak melihat batang hidung Nisa saat bel masuk berbunyi.
“Uhhh, aduh Nis.. kamu telat mulu. Ngapain aja sih, ampe telat bangun gitu. Heran aku ama kamu?”, Salsa memulai percakapan pagi itu walaupun dengan bisik-bisik. Maksudnya agar suara mereka tidak terdengar oleh bu guru.
“He…”, Nisa cengar cengir menanggapi pertanyaan sahabat baiknya itu.
Kini perhatiannya tertuju pada sosok manis dan ramah didepannya. Sedang menerangkan materi pelajaran hari ini, ilmu sosial!. Yups, pelajaran yang sama sekali tidak menarik minatnya untuk memahami ilmu satu ini. Dia merasa bahwa ilmu sosial itu adalah ilmu yang mudah dipahami, sehingga tak perlu diseriusi dalam mempelajarinya. Yang perlu dipelajari menurutnya adalah ilmu-ilmu eksak semacam matematika, fisika, dan sebagainya. Tapi, hari ini berbeda. Nisa tidak pernah seserius ini memperhatikan penjelasan dari Bu Nia, guru baru disekolahnya. Satu-satunya guru yang memperlakukan siswanya yang terlambat dengan sangat baik dan tidak galak (menurut Nisa). Ada apa denganmu Nisa?, kata hatinya.
Waktu berjalan begitu cepat hari ini dan bel pun berbunyi sudah. Tanda jam sekolah telah habis, seluruh siswa berhamburan seperti luapan air bah yang membanjiri jalan raya dekat sekolah. Tidak ketinggalan Nisa, ups! Tapi kali ini Nisa pulang tanpa Salsa. What’s the matter with them?.
“Nis, Salsa mana. Kok nggak pulang ama lo?”, tanya Adri. Anak kelas sebelah yang sejak pindah ke sekolah Nisa dua bulan yang lalu, menyimpan rasa suka kepada Salsa. Tapi, sampai saat ini cewek jilbaber itu tidak tahu bahwa Adri menyimpan perasaan semacam itu terhadapnya.
“O, tadi dia bilang ke gue lok dia mau buru-buru pulang soalnya mau bantuin ibunya. Emang kenapa lo nanya-nanya?”, ketus.
“O, nggak gue cuma heran aja, tumben lo berdua nggak pulang bareng. Kalo gini kan gue bisa nebeng ma lo”, Adri cengengesan.
“Enak aja lo. Tapi boleh deh, naik dah. Kasian juga gue ama lo”, kata Nisa membolehkan.
***
Pagi ini sungguh mengejutkan bagi seisi kelas Nisa. Nisa datang pagi sekali dan itu artinya, pagi ini dia tidak telat. Waw.. it’s amazing!, satu per satu teman-temannya menyalami dan memberikan ucapan selamat kepadanya.
“Selamat ya, hari ini kamu nggak telat”, begitulah bunyi ucapan yang dilontarkan oleh teman-teman Nisa.
“Eh.. iya, makasi”, jawaban Nisa untuk setiap ucapan teman-temannya.
Dalam hati Nisa tersipu sekali, malu dengan tingkahnya selama ini. Telat, telat dan telat. Tapi, ada yang menggangu pikirannya hari ini. Salsa mana ya, kok tumben tuh anak nggak datang cepat?. Batinnya.
Ya, hari ini Salsa tidak seperti biasanya. Padahal Nisa berharap sekali bahwa orang yang pertama mengucapkan selamat karena hari ini dia datang ke sekolah sebelum bel masuk berbunyi adalah Salsa, sahabat baiknya. Tapi harapannya tidak akan terwujud, karena Salsa hari ini tidak masuk. Nisa mulai khawatir dengan sahabatnya itu. Salsa kenapa ya, kemarin pulang cepat-cepat dan sekarang nggak masuk?. Nisa tidak konsentrasi pada pelajaran hari ini, dia terus saja memikirkan Salsa karena tidak biasanya Salsa bersikap seperti itu.
Salsa sungguh membuat Nisa cemas memikirkannya. Nisa sangat heran dan ingin tahu apa yang terjadi pada Salsa hingga dia tidak masuk, padahal pelajaran hari ini adalah pelajaran yang paling dia sukai, Bahasa Indonesia. Akhirnya, Nisa memutuskan untuk ke rumah Salsa pulang sekolah nanti.
“Nis.., boleh nebeng ga, gue nggak bawa motor nih?”, kata Adri.
“Duh, sorry Dri, gue mau ke rumahnya Salsa nih. Lain kali aja ya lo nebengnya. Hari ini lo jalan kaki aja dulu ya. Daa..”, Nisa ngebut dan tidak memberi kesempatan untuk Adri bicara lebih banyak, karena dia tahu bahwa Adri adalah cowok yang cerewet. Good choice!
Nisa tidak menemukan siapapun setelah ia coba mengetuk pintu rumah Salsa yang sudah sangat rapuh. Rumah reot itu terlihat semakin menyeramkan jika sepi tak berpenghuni seperti itu. Sungguh, hati Nisa rasanya sakit melihat keadaan sahabatnya seperti itu, dia ingin melakukan sesuatu untuk Salsa, tapi ia tak berdaya karena Salsa tidak ingin lebih merepotkan Nisa lagi.
Tidak menemukan seorang pun di rumah Salsa membuat Nisa makin cemas, cepat-cepat dia melangkahkan kakinya menuju rumah tetangga salsa yang kira-kira berjarak satu meter dari rumah reot itu.
“Assalamu’alaikum, permisi bu..”
“Wa’alaikumussalam, cari siapa neng?”, seorang ibu yang rambutnya telah beruban sebagian menjawab salam Nisa dan menghampirinya.
“Maaf bu, orang yang tinggal dirumah itu pada kemana ya?. Kok sepi banget”, tanya Nisa sambil mengarahkan telunjuknya ke rumah Salsa.
“Oo, kemarin mereka ke rumah sakit. Bu Imah sakitnya sudah parah, makanya di bawa ke rumah sakit oleh anaknya”
“Ke rumah sakit?, ya udah bu. Makasi, Assalamu’alaikum”, Nisa langsung pergi begitu saja tanpa menunggu jawaban atas salamnya.
Perasaan Nisa bercampur aduk. Sedih, panik, dan takut. Tapi, hal itu tidak mampu menghalanginya untuk membawa motor kesayangannya dengan sekencang-kencangnya, apalagi dalam kondisi yang menurutnya sangat mendesak seperti sekarang ini. Dalam perjalanan, dia terus berpikir tentang Salsa dan ibunya. Apa yang akan terjadi dengan Salsa seandainya tante Imah-begitu dia memanggil ibunya Salsa-tidak bisa diselamatkan. Ibu adalah satu-satunya keluarga Salsa yang masih tersisa, setelah di tinggal ayahnya lima tahun silam. Tak sadar, Nisa meneteskan air matanya dan semakin menambah kecepatan laju motornya. Ya Allah, selamatkan tante Imah!. Batinnya.
***
“Innalillahi wa inna ilaihiroji’un..”, Salsa meneteskan air mata sambil mengucap kalimat tersebut. Ia tak kuasa menahan air matanya yang sudah terbendung sejak dua hari yang lalu. Ia tak ingin menangis di depan ibunya, karena hal itu hanya akan membuat ibunya semakin merasa sakit. Tapi, hari ini ia tak berdaya ketika ia harus meluapkan bendungan air mata itu, ia merasa tak sanggup lagi membendungnya. Ibunya telah meninggal.
Nisa yang baru saja sampai di depan ruang rawat ibunya Salsa, pun tak dapat membendung air matanya. Nisa yang selalu tegar dan merasa air mata adalah tanda kelemahan, hari ini menangis juga, ketika ia menyaksikan sahabatnya kehilangan orang yang paling berharga dalam hidupnya. Ia tak sadar menjatuhkan helm yang dibawanya sejak tadi, hal itu mengagetkan Salsa. Salsa menoleh kebelakang dan langsung memeluk Nisa, sahabat baiknya yang selama ini membantunya dan ibunya.
“Innalillahi..”, suara Nisa lirih.
***
Seminggu setelah ibunya meninggal, Salsa masuk sekolah lagi. Dan, teman-temannya menyambut dengan hangat.
“Yang tabah ya Sa”, bu Nia mengucapkan rasa empatinya.
“Ya, bu makasi”, jawab Salsa singkat.
Lalu, bu Nia memulai pelajaran. Nisa begitu serius mendengar penjelasan dari bu Nia. Diam-diam, Salsa tersenyum melihat tingkah sahabatnya itu, yang menurutnya sudah sedikit berubah. Bu Nia benar-benar sudah mengubah sikapnya.
“Baik, anak-anak. Ada pertanyaan?”, kata bu Nia.
Pertanyaan bu Nia membuyarkan lamunan Salsa dan ia buru-buru mengacungkan tangan kanannya.
“Ya, Salsa?”
“Bu, ibu kan baru dua minggu di sekolah ini. Tapi, saya lihat ibu beda banget. Sejak pertama mengajar, kami udah suka sama ibu. Berbeda dengan guru-guru baru lainnya, kami butuh waktu berbulan-bulan untuk bisa klik sama mereka. Beda banget sama ibu. Bahkan, Nisa aja yang benci banget sama ilmu sosial malah setelah diajar ibu, jadi suka dan nggak telat lagi. Apa sih rahasianya bu?. Itu aja yang mau saya tanyakan. Terima kasih”
Pertanyaan Salsa membuat kelas menjadi gaduh. Wajah Nisa memerah karena namanya dibawa-bawa dalam pertanyaan Salsa. Bu Nia pun tersenyum mendengar pertanyaan cewek jilbaber yang baik hati itu.
“Ya, bu apa rahasianya?”, kata teman-temannya mendukung.
“Oke, pertanyaannya bagus. Tapi, pertanyaan Salsa bikin ibu pusing. Gimana ya?, nggak ada rahasia sih ya. Ibu cuma berusaha tetap menjadi diri ibu, berusaha dekat kepada kalian, terus jangan lupa senyum dan yang paling penting dari semuanya adalah, ikhlas!. Ya, dengan keikhlasan kita akan menjadi orang sabar, tenang dan insyaallah menyenangkan, disukai banyak orang. Insya Allah itu jawabannya Sa”, bu Nia memandang kearah Salsa.
Salsa mengangguk tanda paham dan setuju dengan apa yang diucapkan oleh bu Nia. Seisi kelas sunyi mendengarkan jawaban dari bu Nia dan tak disadari, pelajaran hari itu sudah selesai.
“Sa, gue mau nanya ma lo, tapi lo jangan marah ma gue. Oke”. Nisa memulai obrolan dengan Salsa di kantin belakang sekolah, sebelum mereka akhirnya akan pulang.
“Mm, oke”, jawab Salsa tetap menunduk menikmati soto yang dipesannya.
“Gini, ngng.. tante Imah kan, baru seminggu yang lalu nih meninggal. Tapi, lo kok biasa aja ya, nggak sedih lagi kayak waktu tante meninggal?. Sorry sebelumnya”, tanya Nisa dengan sangat hati-hati.
Salsa tetap tenang menanggapi pertanyaan sahabatnya yang tidak suka basa-basi itu. Dia tersenyum lalu menjawab pertanyaan Nisa.
 “Keikhlasan, Nisa!. Seperti kata bu Nia tadi, kalau kita ikhlas insyaallah kita akan jadi orang yang sabar, tabah dan tenang. Nggak Cuma terhadap cobaan tapi juga terhadap nikmat yang kita dapat. Kita adalah milik Allah dan tentu kita bakal kembali lagi ma Allah. Cuma mungkin, ibu emang yang duluan. Jadi, nggak ada alasan untuk sedih dan marah kepada pemilikNya jika Dia udah mau ngambil milikNya kembali. Ya kan, Nis?” 
Subhanallah, jawaban  Salsa itu tidak mampu membuat mulut Nisa mengatakan apapun lagi. Dia merasa malu kepada Allah, karena selama ini dia jarang mensyukuri nikmat yang didapatnya bahkan selalu saja mengeluh kepada orangtuanya jika kemauannya tidak terpenuhi. Dia menundukkan wajahnya di depan Salsa dan air matanya menetes, lagi. Ia menyesal atas perbuatannya selama ini. Yang selalu bersikap manja dan menyusahkan orangtuanya.
“Sa, gue beruntung banget punya sahabat kayak lo. Seandainya gue bisa sesabar dan setabah lo, mungkin orang tua gue nggak bakalan susah begini dengan sikap gue yang selalu manja sama mereka”, ucap Nisa dengan suara sedikit gemetar karena menangis.
Salsa tersenyum mendengar ucapan sahabat “manja”nya itu. Melihat senyuman Salsa itu, Nisa semakin malu dan merasa sangat bersalah kepada kedua orang tuanya. Ia bertekad akan berusaha mengubah sikapnya yang menurutnya membuat orangtuanya susah.
 “Hidup tu untuk ibadah neng, bukan cuma buat senang-senang aja tau, makanya jadi orang tu yang disiplin, jangan telat mulu. Ilmu itu berharga banget lo Nis, kalau udah mati. Yang ikut sama kita tu, ya ilmu kita, bukan harta atau sejenisnya. Ilmu juga dapat nyelametin kita dari kejahatan. Jadi, jangan telat lagi ya, nona Nisa yang hobi tidur. Hehe..”, Salsa mencoba menghibur Nisa yang sedang menyesali perbuatannya, sambil menghapus air mata Nisa.
Nisa tersenyum simpul, lalu memeluk Salsa seraya mengucap terima kasih. Mereka larut dalam tangis haru, yang akan membuat mereka lebih ikhlas dengan apa yang ada pada diri mereka.
°º¤«» £@К@ «»¤°º
Kamis, 11 Agustus 2011 - 0 comments

Aku Akhwat kan?!


Ayyidda listianingtyas, itulah nama lengkap akhwat tomboy ini. What?, akhwat tomboy?. Ya itulah Ayi, sejak lulus SD mama dan papa menyekolahkannya ke sebuah pondok pesantren yang terkenal dengan pengawasan yang sangat ketat. Dan mau tidak mau Ayi harus terbiasa mengenakan pakaian kebesaran muslimah, jilbab. Sebenarnya Ayi sangat menyayangkan mengapa papa dan mama mengirimnya ke pondok pesantren, namun lambat laun Ayi mulai menikmati hidupnya yang baru, menjadi seorang akhwat. Beruntung Ayi adalah seorang anak yang lincah, selalu semangat dan pantang mundur sehingga walaupun Ayi tinggal di asrama, ayi selalu bisa mengatasi rasa kangen kepada keluarga di rumah. Tetapi, walaupun Ayi dimasukkan ke pondok pesantren pun, kejahilannya yang seperti anak lelaki itu tidak berubah juga. Dan kini, masa-masa indah yang pernah dialami di sekolahnya telah berakhir, karena Ayi telah menjadi seorang mahasiswi sebuah perguruan tinggi.
Ayi baru saja pulang dari kampus dan walaupun terlihat sangat kecapaian, Ayi tidak pernah lupa untuk melakukan aksi jailnya. Ngagetin orang! Dan kali ini targetnya adalah mama yang sedang asyik melakoni perannya sebagai ibu rumah tangga.
“Ayi…, ngagetin aja deh. Kalau mama punya penyakit jantung gimana heh?, terus mama pingsan atau mungkin mati gara-gara kamu kagetin. Ayi mikir dikit dong, udah gede juga, masih aja kayak anak kecil”. Mama ngomel, ups! Maksudnya menasehati. Dan hampir saja pantat panci yang sedang dipegang mama, mendarat di kepala Ayi yang terlindung oleh jilbab putihnya yang terlihat agak kotor, karena dipakai seharian dalam OSPEK yang banyak menyerap energi. Dan syukurlah hari ini adalah hari terakhir OSPEK.
            “Duh, baru pulang dah diomelin aja. Buatin minuman kek buat anaknya, nggak tau apa Ayi lagi haus”. Batin Ayi.
            “Iya deh ma…, Afwan ya…?. Tapi kan mama nggak punya penyakit jantung, jadi Ayi aman deh… Hehehe…”, Ayi meminta maaf kepada mama sambil mencomot tempe goreng buatan mama dan langsung ngaciiir ke kamarnya.
Pagi-pagi sekali Ayi telah rapi dengan tas slempangnya. Ayi akan memulai kuliah pertamanya hari ini.
“Ma, Ayi berangkat ya. Salam lekum…”, kata Ayi berpamitan pada mama.
“Ya… hati-hati, jangan ngebut. Wa’alaikum salam” jawab mama dari dalam kamar.
Dan tak lama kemudian Ayi pun tiba di kampusnya.
“Aah… akhirnya, aku jadi mahasiswa”. Kata Ayi penuh semangat sambil mengangkat kepalan kedua tangannya.
“Oy…, ngapain Lo?. Kayak orang nggak pernah sekolah aja Lo”, salah seorang teman baru Ayi mengagetkan akhwat tomboy itu. Dia menaruh telunjuknya di kening membentuk garis miring. “gila!”, mungkin itu maksudnya.
“Hehehe…” dan karena terkejut plus malu, Ayi menjawab pertanyaan temannya itu dengan gaya khasnya. Garuk kepala yang tidak gatal sama sekali dan nyengir ala kuda syaraf.
Ayi adalah gadis yang supel, mudah bergaul, humoris dan tentunya jailnya tidak ada yang bisa menandingi. Karena itulah, tidak sulit bagi orang-orang untuk menerimanya bahkan menyayanginya. Bahkan di hari pertama OSPEK, Ayi telah mendapatkan banyak teman dan tidak heran kalau sampai di hari pertama kuliah, dia diperebutkan untuk menjadi anggota gank di kelasnya. Wah…, Ayi sudah seperti selebriti saja.
“Eh Ay, Lo gabung ama kita yuk!. Pasti seru deh kalau Lo ikut”
“Nggak ah, gue nggak suka terikat tau. Gank kan biasanya menjunjung tinggi kesetiakawanan tuh. Ntar kalau gue nggak bisa setia, gue ditendang lagi ama kalian. Ogah ah”. Tawaran dari utusan salah satu gank, ditolak Ayi dengan santai dan agak sok cool.
Padahal dalam hati, Ayi ingin sekali menerima tawaran tersebut, karena nge-gank adalah kebiasaannya sejak masih duduk di bangku sekolah dulu. Walaupun selama 6 tahun dia menghabiskan waktu di asrama pondok pesantren, selama itu pula dia bergabung dalam gank bersama teman sekamarnya. Tapi, tentunya gank Ayi bukanlah sembarang gank, pasalnya mereka tergabung dalam gank bukan untuk mengerjakan hal-hal yang tidak bermanfaat, seperti gank pada umumnya. Sebaliknya mungkin mereka adalah anggota gank yang paling berguna dalam sejarah per-gank-an pemuda masa kini. Hanya bedanya, kalau sekarang gank itu isinya cewek dan cowok dan cenderung melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat.
“Panas banget ya Ay?”. Tyo, teman sekelas Ayi, mencoba memulai percakapan dengan si tomboy Ayi.
“Iya Yo, panas banget nih. Lo bawa minuman ga, minta dong?!”
“Eh, Lo ga liat apa dari tadi gue bawa diri ke sini. Emangnya Lo liat tangan gue genggam sesuatu hah?”, jawab Tyo agak ketus.
“Yee ni anak, udah sok kenal. Eh, sekarang sok akrab lagi. Sebenarnya dia ni dari planet mana sih.”, Ayi menggumam.
“Ay, sorry. Lo bilang apa tadi, gue ga denger?”
“Emang Lo ga perlu denger kali”, batin Ayi.
“E nggak, itu anu apa. He…, Yo gue ke sana dulu ya. Da…”. Buru-buru Ayi kabur sebelum ketahuan menggumam yang tidak-tidak tentang Tyo.
“Duh…, tu anak ada-ada aja. Tapi, gue suka ma dia. Ngegemesin, he…”. Tyo bicara sendiri mengiringi Ayi yang entah kabur kemana, hilang bagai di telan harimau. Gubraaak!.
Sementara itu, Ayi asyik sekali menikmati mie goreng buatan mbak Asti, penjaga kantin belakang. Dia tidak peduli dengan Tyo, teman barunya yang dia sebut Mr. SoAk (Sok Akrab), yang sedang memikirkan tingkah anehnya.
“Mbak Asti, mienya enak banget. Mm…,boleh nambah ga?”
“Mo nambah?, boleh berapa piring lagi Ay?. Emang, dua piring tadi belum cukup ya?”. Mbak Asti pura-pura memberi kesempatan untuk Ayi nambah makan mie goreng.
“Iya Mbak, kan perut saya belum bilang kalau misalnya dia udah ga laper lagi. Ya kan mbak?!. Ya mbak ya, kasih dong mbak…”, Ayi membujuk Mbak Asti.
“Oke…mbak akan kasih satu piring lagi. Tapi…”. Mbak Asti menggantung perkataannya.
“Tapi…?!”, sambung Ayi dengan dahi berkerut. Heran!
“Tapi bayar dulu utang Ayi yang kemarin, pas pulang OSPEK. Inget kan, sini bayar dulu utangmu. Kamu ini, udah ngutang pake kabur segala lagi kemarin. Tapi untung deh, kamu balik lagi ke sini. Jadi, saya ga rugi”, Mbak Asti menjelaskan.
“Ye…, Mbak tenang aja. Ya udah ne saya bayar yang kemarin, tapi yang sekarang ngutang ya. Da…”. Duh, Ayi ngaciiir lagi.
“Eh…dasar anak bandel. Ayi, awas ya besok kalau datang ke sini lagi, aku iket kaki sama tangan kamu biar ga kabur lagi. Ayi…”, teriakan Mbak Asti terdengar sampai ruang kelas. Dia jengkel sekali dengan sikap akhwat tomboy yang ga ada kapoknya itu.
Ayi tidak memperdulikan ocehan Mbak Asti, dia terus melangkahkan kakinya menuju kelas. Dan sesampainya dikelas, entah sengaja atau tidak Ayi langsung menuju ke tempat duduk Tyo, si Mr. SoAk.
“Uh…, aduh gue capek banget. Dasar mbak Asti pelit, aduh capek”, Ayi mulai bicara sendiri dan kali ini tanpa memperhatikan sitkon disekitarnya.
“Woy, lo kenapa sih?, dateng-dateng ngomelin orang aja lo. Ada apa sih?”
“Gue dikejer ama mbak Asti, gara-gara gue belum bayar utang gue yang kemarin”. Jelas Ayi dengan nafas tersengal-sengal karena kejar-kejaran dengan mbak Asti.
Sementara Ayi dan Tyo bicara dengan begitu akrabnya, mereka tidak menyadari bahwa disudut kanan mereka ada mata yang sejak tadi memperhatikan mereka dengan tatapan cemburu. Nina, teman satu kelas Ayi ketika masih di Ponpes dulu. Sejak Aliyah, Nina memang menyimpan rasa iri yang berlebihan kepada Ayi. Nina iri karena selama ini Ayi lah yang selalu mendapatkan banyak perhatian dari banyak teman. Ia merasa bahwa teman-teman tidak adil padanya, dia yang berprestasi dan patut dibanggakan, tapi tidak seorangpun yang mau berteman akrab dengannya. Nina haus perhatian.Duh...!
”Apa sih hebatnya si Ayi itu, udah jelek, nggak ada pinter-pinternya, belagu lagi”. Curhat Nina pada teman sebangkunya suatu hari.
Dan sekarang, dia melihat Ayi akrab sekali dengan cowok yang sejak awal pertemuan menarik hatinya. Tyo, anak yang satu ini memang pantas dikagumi. Goodlooking, cerdas, smart, dan yang pasti ramah kepada semua orang. Tapi, sayang dia bukan muslim. Tyo sebenarnya menaruh hati pada Nina, tapi setelah ia tahu bahwa gadis yang ia sukai itu selalu saja merasa paling hebat. Rasa simpatinya hari demi hari semakin pudar.
Hari ini Ayi berangkat pagi sekali, karena seperti biasa, jumat pagi seluruh penghuni kampusnya melakukan senam pagi bersama dan kali ini dia tidak mau terlambat lagi untuk mengikuti senam pagi yang sebenarnya tidak wajib, tapi dinilai juga. Uuh.. bingung ah..
“Pagi, Mr. SoAk..”, sapa Ayi
“Ech, Miss. Telat.. tumben ya datengnya pagi begini. Nggak ditambah lagi tidurnya. Wah, jangan-jangan Miss. Telat mau tobat nih”, kata Tyo dengan sedikit guyonan. Ia terkejut melihat Ayi yang tidak biasanya datang pagi.
 “Ya nggak juga sih, gue cuma mau lihat aja, kalau pagi gini pemandangan kampus kita kayak gimana. Gitu aja sih dan ternyata seperti ini ya, sama aja”. Ayi tidak mau kalah, Tyo diam dan mereka melangkah bersamaan ke lapangan untuk mengikuti senam pagi.
Usai senam, Nina menghampiri Ayi. Ia kesal sekali melihat Ayi dan tyo selalu bersama sejak datang hingga usai senam tadi. Kali ini ia tidak bisa lagi meredam amarahnya, rasa cemburunya kepada Ayi sudah memuncak dan terjadilah debat antara kedua gadis manis itu.
“…Mau Lo tu apa sih Ay?, Lo udah punya semuanya. Orangtua Lo sayang ama Lo, teman-teman Lo banyak, orang-orang banyak yang suka ama Lo. Dan sekarang, Tyo Lo ambil juga dari gue. Lo tuh Akhwat bukan sih?, akhwat kok kelakuannya nggak beda ma cewek-cewek yang nggak punya malu”, Nina membentak Ayi.
“Nin, gue nggak bermaksud ngambil atau ngerebut atau apalah, yang jelas gue nggak tahu kalau sebenarnya Lo jatuh hati ama tyo karena Lo nggak pernah bilang ke gue. Dan asal Lo tau aja, tyo tuh cuma teman gue, nggak lebih”. Ayi sedikit emosi.
“Dan satu lagi, gue ni akhwat Nin. Gue beda sama cewek-cewek yang Lo sebut tadi, gue masih punya malu. Ya walaupun, gue emang nggak secantik dan sepintar Lo, paling nggak gue masih punya malu”, lanjut Ayi.
Nina tertunduk diam, dia merasa malu dengan apa yang telah ia lakukan tadi. Dan Ayi?, ia tidak bisa konsentrasi mengikuti kuliah. Pikirannya terus memutar ulang kata-kata Nina, “Lo tuh akhwat bukan sih?”. Kata-kata itu terus saja terdengar ditelinganya. Ia merasa bahwa hal itu memang harus ia tanyakan, kepada dirinya. Apakah ia memang masih seorang akhwat?.
Pukul 02.30 malam, Ayi bangun untuk melaksanakan Qiyyamullailnya. Sesuatu yang sudah cukup lama tidak ia lakukan, semenjak masuk perguruan tinggi. Dalam kesunyian, hanya dia dan sang Khalik. Ia tumpahkan semua keluh kesahnya, ia curhatkan semua yang ia alami hari ini. Akhwat tomboy itu menangis, mengingat semua yang ia lakukan semenjak keluar dari ponpes yang telah memberinya tittle ‘akhwat’. Ia menyadari bahwa ia telah lalai atas kewajibannya sebagai seorang manusia.
“Ya rabb, aku akhwat kan?!”, begitulah kata Ayi dalam doanya kepada Allah. Dan larutlah ia dalam sujud taubat kepada sang pemberi nafas kehidupan disertai tekad bulat untuk menghentikan perbuatan sia-sianya selama ini. Perbuatan yang tak sepantasnya dilakukan oleh seorang akhwat. Ditengah kekhusyukannya, handphonenya berdering. 1 pesan masuk, namun Ayi tidak menghiraukannya untuk sesaat. Ba’da subuh, ia mengambil HPnya dan membuka inbox-nya. Pesan dari Nina.
Asslm. Ay, maaf aku sms jam segini. Aku hanya ingin minta maaf atas  kata-kataku kemarin. Aku nggak maksud ngebentak kamu kayak gitu. Aku emang udah keterlaluan, nggak seharusnya aku bersikap kayak gitu. Sekali lagi maafin aku. Dan terus terang aku semalaman nggak bisa tidur memikirkan sikapku sama kamu kemarin. Afwan jiddan ukhti.
Ayi tidak menyangka, bahwa semalaman Nina juga memikirkan perdebatan kemarin. Ia tak menyangka bahwa semalam, diwaktu yang sama, diseberang sana, Nina juga memikirkan kata-kata ‘kritikan’ yang ia tujukan kepada Ayi, yang sangat ia sesali dan tanpa sepengetahuannya, kata-kata itu telah menyadarkan seorang akhwat tomboy dari kekeliruannya menyikapi hidup ini. Dan dengan demikian, Nina secara tidak langsung telah membuat perubahan besar terhadap kehidupan Ayi.
W’alaikumsalam, lupakan semuanya saudariku. Aku ikhlas engkau mengkritikku dengan kata-kata itu, dan mulai hari ini aku akan berusaha bersikap sebagai seorang akhwat. Aku janji akan mengubah perilakuku agar tidak sama seperti cewek-cewek yang nggak punya malu. He…, sukron katsir ukhti.. ☺”, jawaban Ayi untuk Nina.