Kamis, 11 Agustus 2011 - 0 comments

Aku Akhwat kan?!


Ayyidda listianingtyas, itulah nama lengkap akhwat tomboy ini. What?, akhwat tomboy?. Ya itulah Ayi, sejak lulus SD mama dan papa menyekolahkannya ke sebuah pondok pesantren yang terkenal dengan pengawasan yang sangat ketat. Dan mau tidak mau Ayi harus terbiasa mengenakan pakaian kebesaran muslimah, jilbab. Sebenarnya Ayi sangat menyayangkan mengapa papa dan mama mengirimnya ke pondok pesantren, namun lambat laun Ayi mulai menikmati hidupnya yang baru, menjadi seorang akhwat. Beruntung Ayi adalah seorang anak yang lincah, selalu semangat dan pantang mundur sehingga walaupun Ayi tinggal di asrama, ayi selalu bisa mengatasi rasa kangen kepada keluarga di rumah. Tetapi, walaupun Ayi dimasukkan ke pondok pesantren pun, kejahilannya yang seperti anak lelaki itu tidak berubah juga. Dan kini, masa-masa indah yang pernah dialami di sekolahnya telah berakhir, karena Ayi telah menjadi seorang mahasiswi sebuah perguruan tinggi.
Ayi baru saja pulang dari kampus dan walaupun terlihat sangat kecapaian, Ayi tidak pernah lupa untuk melakukan aksi jailnya. Ngagetin orang! Dan kali ini targetnya adalah mama yang sedang asyik melakoni perannya sebagai ibu rumah tangga.
“Ayi…, ngagetin aja deh. Kalau mama punya penyakit jantung gimana heh?, terus mama pingsan atau mungkin mati gara-gara kamu kagetin. Ayi mikir dikit dong, udah gede juga, masih aja kayak anak kecil”. Mama ngomel, ups! Maksudnya menasehati. Dan hampir saja pantat panci yang sedang dipegang mama, mendarat di kepala Ayi yang terlindung oleh jilbab putihnya yang terlihat agak kotor, karena dipakai seharian dalam OSPEK yang banyak menyerap energi. Dan syukurlah hari ini adalah hari terakhir OSPEK.
            “Duh, baru pulang dah diomelin aja. Buatin minuman kek buat anaknya, nggak tau apa Ayi lagi haus”. Batin Ayi.
            “Iya deh ma…, Afwan ya…?. Tapi kan mama nggak punya penyakit jantung, jadi Ayi aman deh… Hehehe…”, Ayi meminta maaf kepada mama sambil mencomot tempe goreng buatan mama dan langsung ngaciiir ke kamarnya.
Pagi-pagi sekali Ayi telah rapi dengan tas slempangnya. Ayi akan memulai kuliah pertamanya hari ini.
“Ma, Ayi berangkat ya. Salam lekum…”, kata Ayi berpamitan pada mama.
“Ya… hati-hati, jangan ngebut. Wa’alaikum salam” jawab mama dari dalam kamar.
Dan tak lama kemudian Ayi pun tiba di kampusnya.
“Aah… akhirnya, aku jadi mahasiswa”. Kata Ayi penuh semangat sambil mengangkat kepalan kedua tangannya.
“Oy…, ngapain Lo?. Kayak orang nggak pernah sekolah aja Lo”, salah seorang teman baru Ayi mengagetkan akhwat tomboy itu. Dia menaruh telunjuknya di kening membentuk garis miring. “gila!”, mungkin itu maksudnya.
“Hehehe…” dan karena terkejut plus malu, Ayi menjawab pertanyaan temannya itu dengan gaya khasnya. Garuk kepala yang tidak gatal sama sekali dan nyengir ala kuda syaraf.
Ayi adalah gadis yang supel, mudah bergaul, humoris dan tentunya jailnya tidak ada yang bisa menandingi. Karena itulah, tidak sulit bagi orang-orang untuk menerimanya bahkan menyayanginya. Bahkan di hari pertama OSPEK, Ayi telah mendapatkan banyak teman dan tidak heran kalau sampai di hari pertama kuliah, dia diperebutkan untuk menjadi anggota gank di kelasnya. Wah…, Ayi sudah seperti selebriti saja.
“Eh Ay, Lo gabung ama kita yuk!. Pasti seru deh kalau Lo ikut”
“Nggak ah, gue nggak suka terikat tau. Gank kan biasanya menjunjung tinggi kesetiakawanan tuh. Ntar kalau gue nggak bisa setia, gue ditendang lagi ama kalian. Ogah ah”. Tawaran dari utusan salah satu gank, ditolak Ayi dengan santai dan agak sok cool.
Padahal dalam hati, Ayi ingin sekali menerima tawaran tersebut, karena nge-gank adalah kebiasaannya sejak masih duduk di bangku sekolah dulu. Walaupun selama 6 tahun dia menghabiskan waktu di asrama pondok pesantren, selama itu pula dia bergabung dalam gank bersama teman sekamarnya. Tapi, tentunya gank Ayi bukanlah sembarang gank, pasalnya mereka tergabung dalam gank bukan untuk mengerjakan hal-hal yang tidak bermanfaat, seperti gank pada umumnya. Sebaliknya mungkin mereka adalah anggota gank yang paling berguna dalam sejarah per-gank-an pemuda masa kini. Hanya bedanya, kalau sekarang gank itu isinya cewek dan cowok dan cenderung melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat.
“Panas banget ya Ay?”. Tyo, teman sekelas Ayi, mencoba memulai percakapan dengan si tomboy Ayi.
“Iya Yo, panas banget nih. Lo bawa minuman ga, minta dong?!”
“Eh, Lo ga liat apa dari tadi gue bawa diri ke sini. Emangnya Lo liat tangan gue genggam sesuatu hah?”, jawab Tyo agak ketus.
“Yee ni anak, udah sok kenal. Eh, sekarang sok akrab lagi. Sebenarnya dia ni dari planet mana sih.”, Ayi menggumam.
“Ay, sorry. Lo bilang apa tadi, gue ga denger?”
“Emang Lo ga perlu denger kali”, batin Ayi.
“E nggak, itu anu apa. He…, Yo gue ke sana dulu ya. Da…”. Buru-buru Ayi kabur sebelum ketahuan menggumam yang tidak-tidak tentang Tyo.
“Duh…, tu anak ada-ada aja. Tapi, gue suka ma dia. Ngegemesin, he…”. Tyo bicara sendiri mengiringi Ayi yang entah kabur kemana, hilang bagai di telan harimau. Gubraaak!.
Sementara itu, Ayi asyik sekali menikmati mie goreng buatan mbak Asti, penjaga kantin belakang. Dia tidak peduli dengan Tyo, teman barunya yang dia sebut Mr. SoAk (Sok Akrab), yang sedang memikirkan tingkah anehnya.
“Mbak Asti, mienya enak banget. Mm…,boleh nambah ga?”
“Mo nambah?, boleh berapa piring lagi Ay?. Emang, dua piring tadi belum cukup ya?”. Mbak Asti pura-pura memberi kesempatan untuk Ayi nambah makan mie goreng.
“Iya Mbak, kan perut saya belum bilang kalau misalnya dia udah ga laper lagi. Ya kan mbak?!. Ya mbak ya, kasih dong mbak…”, Ayi membujuk Mbak Asti.
“Oke…mbak akan kasih satu piring lagi. Tapi…”. Mbak Asti menggantung perkataannya.
“Tapi…?!”, sambung Ayi dengan dahi berkerut. Heran!
“Tapi bayar dulu utang Ayi yang kemarin, pas pulang OSPEK. Inget kan, sini bayar dulu utangmu. Kamu ini, udah ngutang pake kabur segala lagi kemarin. Tapi untung deh, kamu balik lagi ke sini. Jadi, saya ga rugi”, Mbak Asti menjelaskan.
“Ye…, Mbak tenang aja. Ya udah ne saya bayar yang kemarin, tapi yang sekarang ngutang ya. Da…”. Duh, Ayi ngaciiir lagi.
“Eh…dasar anak bandel. Ayi, awas ya besok kalau datang ke sini lagi, aku iket kaki sama tangan kamu biar ga kabur lagi. Ayi…”, teriakan Mbak Asti terdengar sampai ruang kelas. Dia jengkel sekali dengan sikap akhwat tomboy yang ga ada kapoknya itu.
Ayi tidak memperdulikan ocehan Mbak Asti, dia terus melangkahkan kakinya menuju kelas. Dan sesampainya dikelas, entah sengaja atau tidak Ayi langsung menuju ke tempat duduk Tyo, si Mr. SoAk.
“Uh…, aduh gue capek banget. Dasar mbak Asti pelit, aduh capek”, Ayi mulai bicara sendiri dan kali ini tanpa memperhatikan sitkon disekitarnya.
“Woy, lo kenapa sih?, dateng-dateng ngomelin orang aja lo. Ada apa sih?”
“Gue dikejer ama mbak Asti, gara-gara gue belum bayar utang gue yang kemarin”. Jelas Ayi dengan nafas tersengal-sengal karena kejar-kejaran dengan mbak Asti.
Sementara Ayi dan Tyo bicara dengan begitu akrabnya, mereka tidak menyadari bahwa disudut kanan mereka ada mata yang sejak tadi memperhatikan mereka dengan tatapan cemburu. Nina, teman satu kelas Ayi ketika masih di Ponpes dulu. Sejak Aliyah, Nina memang menyimpan rasa iri yang berlebihan kepada Ayi. Nina iri karena selama ini Ayi lah yang selalu mendapatkan banyak perhatian dari banyak teman. Ia merasa bahwa teman-teman tidak adil padanya, dia yang berprestasi dan patut dibanggakan, tapi tidak seorangpun yang mau berteman akrab dengannya. Nina haus perhatian.Duh...!
”Apa sih hebatnya si Ayi itu, udah jelek, nggak ada pinter-pinternya, belagu lagi”. Curhat Nina pada teman sebangkunya suatu hari.
Dan sekarang, dia melihat Ayi akrab sekali dengan cowok yang sejak awal pertemuan menarik hatinya. Tyo, anak yang satu ini memang pantas dikagumi. Goodlooking, cerdas, smart, dan yang pasti ramah kepada semua orang. Tapi, sayang dia bukan muslim. Tyo sebenarnya menaruh hati pada Nina, tapi setelah ia tahu bahwa gadis yang ia sukai itu selalu saja merasa paling hebat. Rasa simpatinya hari demi hari semakin pudar.
Hari ini Ayi berangkat pagi sekali, karena seperti biasa, jumat pagi seluruh penghuni kampusnya melakukan senam pagi bersama dan kali ini dia tidak mau terlambat lagi untuk mengikuti senam pagi yang sebenarnya tidak wajib, tapi dinilai juga. Uuh.. bingung ah..
“Pagi, Mr. SoAk..”, sapa Ayi
“Ech, Miss. Telat.. tumben ya datengnya pagi begini. Nggak ditambah lagi tidurnya. Wah, jangan-jangan Miss. Telat mau tobat nih”, kata Tyo dengan sedikit guyonan. Ia terkejut melihat Ayi yang tidak biasanya datang pagi.
 “Ya nggak juga sih, gue cuma mau lihat aja, kalau pagi gini pemandangan kampus kita kayak gimana. Gitu aja sih dan ternyata seperti ini ya, sama aja”. Ayi tidak mau kalah, Tyo diam dan mereka melangkah bersamaan ke lapangan untuk mengikuti senam pagi.
Usai senam, Nina menghampiri Ayi. Ia kesal sekali melihat Ayi dan tyo selalu bersama sejak datang hingga usai senam tadi. Kali ini ia tidak bisa lagi meredam amarahnya, rasa cemburunya kepada Ayi sudah memuncak dan terjadilah debat antara kedua gadis manis itu.
“…Mau Lo tu apa sih Ay?, Lo udah punya semuanya. Orangtua Lo sayang ama Lo, teman-teman Lo banyak, orang-orang banyak yang suka ama Lo. Dan sekarang, Tyo Lo ambil juga dari gue. Lo tuh Akhwat bukan sih?, akhwat kok kelakuannya nggak beda ma cewek-cewek yang nggak punya malu”, Nina membentak Ayi.
“Nin, gue nggak bermaksud ngambil atau ngerebut atau apalah, yang jelas gue nggak tahu kalau sebenarnya Lo jatuh hati ama tyo karena Lo nggak pernah bilang ke gue. Dan asal Lo tau aja, tyo tuh cuma teman gue, nggak lebih”. Ayi sedikit emosi.
“Dan satu lagi, gue ni akhwat Nin. Gue beda sama cewek-cewek yang Lo sebut tadi, gue masih punya malu. Ya walaupun, gue emang nggak secantik dan sepintar Lo, paling nggak gue masih punya malu”, lanjut Ayi.
Nina tertunduk diam, dia merasa malu dengan apa yang telah ia lakukan tadi. Dan Ayi?, ia tidak bisa konsentrasi mengikuti kuliah. Pikirannya terus memutar ulang kata-kata Nina, “Lo tuh akhwat bukan sih?”. Kata-kata itu terus saja terdengar ditelinganya. Ia merasa bahwa hal itu memang harus ia tanyakan, kepada dirinya. Apakah ia memang masih seorang akhwat?.
Pukul 02.30 malam, Ayi bangun untuk melaksanakan Qiyyamullailnya. Sesuatu yang sudah cukup lama tidak ia lakukan, semenjak masuk perguruan tinggi. Dalam kesunyian, hanya dia dan sang Khalik. Ia tumpahkan semua keluh kesahnya, ia curhatkan semua yang ia alami hari ini. Akhwat tomboy itu menangis, mengingat semua yang ia lakukan semenjak keluar dari ponpes yang telah memberinya tittle ‘akhwat’. Ia menyadari bahwa ia telah lalai atas kewajibannya sebagai seorang manusia.
“Ya rabb, aku akhwat kan?!”, begitulah kata Ayi dalam doanya kepada Allah. Dan larutlah ia dalam sujud taubat kepada sang pemberi nafas kehidupan disertai tekad bulat untuk menghentikan perbuatan sia-sianya selama ini. Perbuatan yang tak sepantasnya dilakukan oleh seorang akhwat. Ditengah kekhusyukannya, handphonenya berdering. 1 pesan masuk, namun Ayi tidak menghiraukannya untuk sesaat. Ba’da subuh, ia mengambil HPnya dan membuka inbox-nya. Pesan dari Nina.
Asslm. Ay, maaf aku sms jam segini. Aku hanya ingin minta maaf atas  kata-kataku kemarin. Aku nggak maksud ngebentak kamu kayak gitu. Aku emang udah keterlaluan, nggak seharusnya aku bersikap kayak gitu. Sekali lagi maafin aku. Dan terus terang aku semalaman nggak bisa tidur memikirkan sikapku sama kamu kemarin. Afwan jiddan ukhti.
Ayi tidak menyangka, bahwa semalaman Nina juga memikirkan perdebatan kemarin. Ia tak menyangka bahwa semalam, diwaktu yang sama, diseberang sana, Nina juga memikirkan kata-kata ‘kritikan’ yang ia tujukan kepada Ayi, yang sangat ia sesali dan tanpa sepengetahuannya, kata-kata itu telah menyadarkan seorang akhwat tomboy dari kekeliruannya menyikapi hidup ini. Dan dengan demikian, Nina secara tidak langsung telah membuat perubahan besar terhadap kehidupan Ayi.
W’alaikumsalam, lupakan semuanya saudariku. Aku ikhlas engkau mengkritikku dengan kata-kata itu, dan mulai hari ini aku akan berusaha bersikap sebagai seorang akhwat. Aku janji akan mengubah perilakuku agar tidak sama seperti cewek-cewek yang nggak punya malu. He…, sukron katsir ukhti.. ☺”, jawaban Ayi untuk Nina.

0 comments:

Posting Komentar