Jumat, 04 Oktober 2013 - 2 comments

A True Story Of Nina

A True Story, Dedicated to Mb Cantek Nun Jauh di Mata Nan Dekat di Hati.. :D

Sebuah kisah tentang cinta yang datang terlalu cepat, terhalang restu orang tua dan entahlah, mungkin terhalang kehendak Allah yang memutuskan mereka tak berjodoh.


Muhammad Azwan, nama lengkap lelaki cerdas itu, ia begitu mencintai Nina, teman masa sekolah dasarnya dulu. Azwan kecil dikenal sebagai anak yang karismatik, disukai teman-teman perempuannya. Hampir semua anak-anak perempuan yang sekelas dengannya mengagumi keelokan parasnya, kecuali Nina. Ya, bocah tomboy ini sama sekali tidak tertarik untuk mengagumi seorang Azwan. Ia terlalu asyik dengan dunianya sendiri, dunianya yang maskulin. Kelas itulah saksi awal perkenalan mereka berdua. Masa-masa SD terlewati begitu saja, tanpa banyak bicara satu sama lain, tak terlalu akrab, biasa saja. Yang luar biasa, mereka adalah dua anak manusia yang tercipta berbeda dari teman-teman sebayanya. Azwan tercipta sebagai bocah karismatik yang digandrungi oleh teman-teman perempuannya, sedangkan Nina, tumbuh menjadi anak perempuan yang maskulin, lebih mengeluarkan sisi kelelakiannya. Itulah yang membuat mereka istimewa, hingga mencipta kisah kehidupan yang tak biasa.
Lulus SD, mereka berpisah. Nina tetap bersekolah di daerahnya, sedangkan Azwan melanjutkan sekolah ke daerah lain. Waktu terus berjalan, hingga mereka dipertemukan kembali, tepatnya, Azwan yang bertemu dan melihat Nina. Kali ini Nina tampak berbeda, jauh berbeda dengan Nina kecil, mereka sudah beranjak remaja, sudah menginjak tanah SMA, kelas 3. Hari itu adalah hari kemenangan, seperti kebanyakan muslim, Nina dan keluarganya pun melakukan tradisi lebaran, bersilaturahim ke rumah sanak saudara. Kini giliran rumah kakak iparnya yang dikunjungi Nina, kebetulan rumahnya terletak di samping rumah Azwan, bertetangga dekat. Azwan melihat Nina, tapi tidak sebaliknya dengan Nina. Ia tak menyadari dari rumah sebelah ada Azwan yang memandangnya menganga, seakan tak percaya bahwa itu adalah dirinya, Nina, teman SD-nya dulu. Si tomboy itu, yang kulitnya hitam dan tak pernah tersenyum padanya. Ya, seakan tak percaya dengan perubahan Nina, ia terpesona!. Wajah teduh dengan tampilan luar yang menawan itu, memaksanya untuk memendam rasa “tak halal” dalam hatinya. Azwan mencintai gadis tomboy yang kini menjelma bak bidadari di pandangannya itu, tanpa berani berharap bahwa Nina pun merasakan hal yang sama terhadapnya.
Hari demi hari berlalu, dua tahun setelah pertemuan ‘sepihak’ itu terjadi, mereka kembali bertemu. Kali ini mereka bertemu dalam acara reuni bersama teman-teman SD-nya. Mereka bercerita, mengingat-ingat memori yang telah menjadi masa lalu, bercerita tentang mereka yang tak akrab, bercerita tentang tingkah polah masing-masing saat SD dulu.
“Wah, dulu kan kamu item Nin, laki banget. Sekarang udah beda. Malah pangling waktu aku ngeliat kamu pertama kali di rumah kakak iparmu lebaran dua tahun yang lalu.”
“Loh, kamu liat aku? Kok aku ga tau?”
“Hee, iya Nin, cuma aku yang ngeliat.”
Azwan tak membuang-buang kesempatan untuk lebih mendekati Nina, ia berencana untuk PDKT. Akhirnya ia meminta nomer ponsel Nina, alasannya agar mudah komunikasi, nanti agar bisa menghubungi jika ada kegiatan di kampung mereka, seperti malam berikutnya. Pertemuan kali ini terjadi di sebuah masjid di desa mereka, dalam sebuah acara kajian. Mata azwan terus saja mengawasi Nina, seakan tak ingin malam ini berakhir agar ia terus bisa melihat wajah Nina, walaupun tanpa senyumnya. Berkali-kali ia mencoba mengambil gambar Nina melalui kamera ponselnya, tapi tak berhasil jua. Azwan yang malang, padahal ia hanya ingin melihat senyuman dari wajah teduh nan anggun itu. Sekali saja! Walau ia tau senyum itu akan membuat tidurnya semakin tak nyenyak. Pernah suatu hari ia mengikuti Nina diam-diam, ia membuntuti Nina sampai depan rumah kontrakan kakaknya di Mataram.
“Ngapain kamu ngikutin aku?” Tanya Nina.
“Aku cuma pengen liat kamu tersenyum sama aku, sekali saja.” Jawab Azwan sekenanya.
Nina mulai merasa tidak nyaman dengan perilaku Azwan kepadanya akhir-akhir ini. ia putuskan untuk mencomblangi azwan dengan seorang temannya yang juga adalah teman SD mereka. Namanya Ria, ia sedang kuliah di luar daerah. Nina mengajak Azwan menjemput Ria ke bandara, hari ini ia akan pulang, Nina berharap Azwan dan Ria akan benar-benar “Jadian” dan menikah. Tapi, sayangnya cinta yang begitu besar dan hati yang telah lebih dulu memilih Nina membuat rencana tersebut tak pernah menjadi nyata. Azwan tetap hanya ingin menunggu senyum manis Nina.
Komunikasi Nina dan Azwan terus berlanjut, walau kini mereka terpisah lagi. Tidak lagi di desa yang sama, tidak menyurutkan usaha Azwan untuk mendekati Nina. Ia datang sebagai seorang sahabat, seorang saudara yang menawarkan berjuta kesiapan saat Nina membutuhkan apa-apa. Ya, lewat ponsel dan facebook, komunikasi mereka berjalan seperti komunikasi teman biasa. Membicarakan tentang teman-teman, sesekali saling bertukar kabar lewat kotak obrolan di Facebook, hingga akhirnya Nina mengetahui rasa yang selama ini di pendam Azwan kepadanya.
Nina merasa sangat bersalah, bersalah pada dirinya sendiri, pada murrobiyahnya, pada teman-temannya, terlebih pada Allah. Bagaimana mungkin ia bisa menyimpan rasa yang sama seperti yang dirasakan oleh Azwan kepada dirinya. Ya, walau terlihat seperti tak peduli, nyatanya rasa ‘tak halal’ itu pun menghinggapi hatinya. Susah payah Nina menepis rasa itu, berharap hanya sebuah rasa sesaat, tapi ia tak mampu. Dorongan rasa itu lebih kuat dari daya yang ia punya. Namun, ia tetap menolak.
            “Tidak Wan. Aku kini sudah berbeda, aku diamanahi adik-adik yang harus kubimbing ke sebuah jalan yang mampu menenangkan hati mereka kala sedih menghinggapi hati, membimbing untuk lebih mampu bersabar dan lebih mendekat pada Allah. Aku ini ibarat mata air, itu kan sumbernya. Kalau keruh, maka ke bawahnya juga akan keruh. Aku tak ingin menjadi murrobiyah yang tak melakukan apa-apa yang telah aku katakan. Termasuk tentang rasa pada lawan jenis ini.” Nina menjelaskan alasannya pada Azwan. Azwan yang juga tarbiyah, sangat mengerti dengan hal itu. Tetapi, lagi-lagi karena alasan yang sama, ia masih belum bisa memanaj rasa cintanya. Tetap saja, Nina terbayang dalam angannya.
Rasa ‘tak halal’ membuat Nina dilema, hari-harinya jadi murung. Menangis sendiri dalam kamar kost menjadi suatu aktivitas yang kini menjadi rutinitasnya kala mengingat permasalahan hati ini.
“Assalamu’alaikum.” Arin tiba-tiba masuk ke kostnya.
“Wa’alaikumussalam” Jawab Nina gelagapan. Ia sedang menangis.
“Anty kenapa? Nangis?” Tanya Arin ingin tau.
“Enggak, ana kelilipan tadi, kena debu” Nina bohong.
Arin tak bertanya lagi, walau sebenarnya ia tau bahwa Nina memang sedang membohonginya. Nina memang menangis, mengingat rasa cintanya pada Azwan. Sementara itu, komunikasi antara mereka tetap terjalin. Suatu hari mereka membahas hubungan mereka yang tak tau entah akan berujung seperti apa itu, melalui ruang obrolan facebook. Nina diminta Azwan untuk menunggu, tunggu hingga takdir Allah mempersatukan mereka. Mereka berbicara tentang rasa yang kini sedang mereka punyai.
“Aku tidak akan menunggu lagi. Dulu aku pernah menunggu dan kini tak akan pernah kulakukan lagi.”
“InsyaAllah, aku dan kamu akan bersama selamanya. Aku tetap berharap kamu mau menungguku.”
Diam. Tak ada balasan lagi dari Nina untuk sejenak. Ia memikirkan jawaban yang pas agar Azwan berhenti datang dalam kehidupannya, agar Azwan tak mengganggu dan menyuruhnya menunggu lagi.
“Tidak, aku tidak akan pernah menunggu. Jika nanti Arman pulang dan melamarku, aku tak akan menolaknya lagi. Dia adalah lelaki sholeh yang sejak dulu aku dambakan, jika aku menolaknya, aku pasti akan menyesal.”
Nina menggunakan Arman sebagai senjatanya, lelaki yang beberapa tahun lalu mengajaknya ta’aruf. Benar, Nina tidak bohong tentang kesholihan hafidz itu. Bahkan ia lebih tampan dari Azwan, tapi sayang, untuk saat ini dan mungkin untuk waktu-waktu yang akan datang, hanya Azwan yang menurutnya pas di hati.
Azwan menjawab pernyataan Nina santai, seakan sangat tau bagaimana Nina. Ia tak mudah dibohongi dengan pernyataan semacam itu. Azwan memang cukup pintar untuk tetap membuat Nina memutuskan untuk mengatakan “Ya, aku akan menunggumu.”.
“Nina, aku tau siapa kamu. Walaupun kamu berkata begitu, aku yakin jauh di dalam lubuk hatimu, tetap aku yang pertama. Tetap aku yang sedang bersemayam di sana.”
“Kumohon Azwan, lepaskan aku, jangan menyiksaku.“
“Tidak Nina, aku tidak menyiksamu. Aku akan berdo’a selalu untuk kebahagiaanmu dunia akhirat.”
“Tapi kamu menyuruhku menunggu Azwan. Itu sangat menyiksaku. Jika benar kamu menginginkan kebahagiaanku dunia akhirat, lupakan aku.”
“Ya sudah, okey. Aku tidak akan mengganggumu lagi Nin, jikapun aku rindu, aku akan bertanya pada sahabat-sahabat kita yang lain tentangmu. Kurasa itu cukup mengobati. Aku akan berhenti menggaggumu, tapi jangan pernah suruh aku melupakan rasa ini, karena ia ada hanya untukmu seorang.”
Berat, malam semakin larut dan obrolan itu belum jua usai. Kepala Nina semakin berat, ia harus menanggung kenyataan bahwa ia menyuruh lelaki yang ia harapkan menjadi belahan jiwanya itu berhenti, menyerah pada sebuah ketetapan yang belum jelas ujungnya. Sementara Azwan semakin ingin berjuang, ia mencurahkan segala isi hatinya kepada seorang teman akrabnya.
“Apa kau bisa dipercaya Azwan?”
“Tentu Nin, kamu pegang kata-kataku. Aku berjanji padamu, walaupun aku akan sangat kehilangan kontak denganmu. Harus menahan perih hati karena merindumu.”
“Baiklah kalau begitu, syukron.”
“Afwan Nina.”
Dan obrolan melalui ruang chatting, ditemani suara-suara binatang malam itu diakhiri dengan perasaan lega. Lega? Oh, mungkin tidak. Sepertinya, percakapan ini adalah awal keterpurukan hati Nina. Cinta memang tak bisa ditolak, datangnya juga tiba-tiba. Jujur atas rasa itu akan lebih indah, karena ia akan tetap tinggal atau memudar sesuai titah empunya. Ya, mungkin itu yang belum dipahami Nina. Kadang rintangan dalam hubungan lawan jenis bisa merupakan ujian sebelum mengecap bahagia akhirnya. Tapi jua bisa jadi adalah sebuah alasan tuhan untuk tidak mempersatukan keduanya, karena rencaNYA yang lain.
Ah, masalah orang tua yang belum memberi restu, kakak yang belum menikah lantas tak boleh dilangkahi, atau seperti bahasa bang Tere Liye, tak boleh melintas, bisa jadi itu pertanda memang bukan jodoh. Tapi, tentu Nina dan Azwan mengharapkan yang lebih baik, bahwa itu adalah sebuah rintangan dan tantangan yang harus mereka selesaika untuk mencapai bahagia.

Bersambung, kapan-kapan.
Semoga pas di hati yaa mb!.. ^-^


  
@MyFavCor_19:26
eLKaNisa Mahdi..
:D


2 comments:

zefita blogger 7 Oktober 2013 pukul 19.01

ehem, ini kisah mb susni ya hehe, mirip2 dikit sama sy

eLKaNisA Mahdi 8 Oktober 2013 pukul 02.36

Yo'i.. Mirip yaa... aah,,ikutan aja... hee

Posting Komentar