A
True Story, Dedicated to Mb Cantek Nun Jauh di Mata Nan Dekat di Hati.. :D
Sebuah kisah tentang cinta yang datang
terlalu cepat, terhalang restu orang tua dan entahlah, mungkin terhalang
kehendak Allah yang memutuskan mereka tak berjodoh.
Muhammad Azwan, nama
lengkap lelaki cerdas itu, ia begitu mencintai Nina, teman masa sekolah
dasarnya dulu. Azwan kecil dikenal sebagai anak yang karismatik, disukai
teman-teman perempuannya. Hampir semua anak-anak perempuan yang sekelas
dengannya mengagumi keelokan parasnya, kecuali Nina. Ya, bocah tomboy ini sama
sekali tidak tertarik untuk mengagumi seorang Azwan. Ia terlalu asyik dengan
dunianya sendiri, dunianya yang maskulin. Kelas itulah saksi awal perkenalan
mereka berdua. Masa-masa SD terlewati begitu saja, tanpa banyak bicara satu
sama lain, tak terlalu akrab, biasa saja. Yang luar biasa, mereka adalah dua
anak manusia yang tercipta berbeda dari teman-teman sebayanya. Azwan tercipta
sebagai bocah karismatik yang digandrungi oleh teman-teman perempuannya,
sedangkan Nina, tumbuh menjadi anak perempuan yang maskulin, lebih mengeluarkan
sisi kelelakiannya. Itulah yang membuat mereka istimewa, hingga mencipta kisah
kehidupan yang tak biasa.
Lulus SD, mereka
berpisah. Nina tetap bersekolah di daerahnya, sedangkan Azwan melanjutkan
sekolah ke daerah lain. Waktu terus berjalan, hingga mereka dipertemukan
kembali, tepatnya, Azwan yang bertemu dan melihat Nina. Kali ini Nina tampak
berbeda, jauh berbeda dengan Nina kecil, mereka sudah beranjak remaja, sudah menginjak
tanah SMA, kelas 3. Hari itu adalah hari kemenangan, seperti kebanyakan muslim,
Nina dan keluarganya pun melakukan tradisi lebaran, bersilaturahim ke rumah
sanak saudara. Kini giliran rumah kakak iparnya yang dikunjungi Nina, kebetulan
rumahnya terletak di samping rumah Azwan, bertetangga dekat. Azwan melihat
Nina, tapi tidak sebaliknya dengan Nina. Ia tak menyadari dari rumah sebelah
ada Azwan yang memandangnya menganga, seakan tak percaya bahwa itu adalah
dirinya, Nina, teman SD-nya dulu. Si tomboy itu, yang kulitnya hitam dan tak
pernah tersenyum padanya. Ya, seakan tak percaya dengan perubahan Nina, ia
terpesona!. Wajah teduh dengan tampilan luar yang menawan itu, memaksanya untuk
memendam rasa “tak halal” dalam hatinya. Azwan mencintai gadis tomboy yang kini
menjelma bak bidadari di pandangannya itu, tanpa berani berharap bahwa Nina pun
merasakan hal yang sama terhadapnya.
Hari demi hari berlalu,
dua tahun setelah pertemuan ‘sepihak’ itu terjadi, mereka kembali bertemu. Kali
ini mereka bertemu dalam acara reuni bersama teman-teman SD-nya. Mereka
bercerita, mengingat-ingat memori yang telah menjadi masa lalu, bercerita
tentang mereka yang tak akrab, bercerita tentang tingkah polah masing-masing
saat SD dulu.
“Wah, dulu kan kamu
item Nin, laki banget. Sekarang udah beda. Malah pangling waktu aku ngeliat
kamu pertama kali di rumah kakak iparmu lebaran dua tahun yang lalu.”
“Loh, kamu liat aku?
Kok aku ga tau?”
“Hee, iya Nin, cuma aku
yang ngeliat.”
Azwan tak
membuang-buang kesempatan untuk lebih mendekati Nina, ia berencana untuk PDKT.
Akhirnya ia meminta nomer ponsel Nina, alasannya agar mudah komunikasi, nanti
agar bisa menghubungi jika ada kegiatan di kampung mereka, seperti malam
berikutnya. Pertemuan kali ini terjadi di sebuah masjid di desa mereka, dalam
sebuah acara kajian. Mata azwan terus saja mengawasi Nina, seakan tak ingin
malam ini berakhir agar ia terus bisa melihat wajah Nina, walaupun tanpa
senyumnya. Berkali-kali ia mencoba mengambil gambar Nina melalui kamera
ponselnya, tapi tak berhasil jua. Azwan yang malang, padahal ia hanya ingin
melihat senyuman dari wajah teduh nan anggun itu. Sekali saja! Walau ia tau
senyum itu akan membuat tidurnya semakin tak nyenyak. Pernah suatu hari ia
mengikuti Nina diam-diam, ia membuntuti Nina sampai depan rumah kontrakan
kakaknya di Mataram.
“Ngapain kamu ngikutin
aku?” Tanya Nina.
“Aku cuma pengen liat
kamu tersenyum sama aku, sekali saja.” Jawab Azwan sekenanya.
Nina mulai merasa tidak
nyaman dengan perilaku Azwan kepadanya akhir-akhir ini. ia putuskan untuk
mencomblangi azwan dengan seorang temannya yang juga adalah teman SD mereka.
Namanya Ria, ia sedang kuliah di luar daerah. Nina mengajak Azwan menjemput Ria
ke bandara, hari ini ia akan pulang, Nina berharap Azwan dan Ria akan
benar-benar “Jadian” dan menikah. Tapi, sayangnya cinta yang begitu besar dan
hati yang telah lebih dulu memilih Nina membuat rencana tersebut tak pernah
menjadi nyata. Azwan tetap hanya ingin menunggu senyum manis Nina.
Komunikasi Nina dan
Azwan terus berlanjut, walau kini mereka terpisah lagi. Tidak lagi di desa yang
sama, tidak menyurutkan usaha Azwan untuk mendekati Nina. Ia datang sebagai
seorang sahabat, seorang saudara yang menawarkan berjuta kesiapan saat Nina
membutuhkan apa-apa. Ya, lewat ponsel dan facebook, komunikasi mereka berjalan
seperti komunikasi teman biasa. Membicarakan tentang teman-teman, sesekali
saling bertukar kabar lewat kotak obrolan di Facebook, hingga akhirnya Nina
mengetahui rasa yang selama ini di pendam Azwan kepadanya.
Nina merasa sangat bersalah, bersalah
pada dirinya sendiri, pada murrobiyahnya, pada teman-temannya, terlebih pada
Allah. Bagaimana mungkin ia bisa menyimpan rasa yang sama seperti yang
dirasakan oleh Azwan kepada dirinya. Ya, walau terlihat seperti tak peduli,
nyatanya rasa ‘tak halal’ itu pun menghinggapi hatinya. Susah payah Nina
menepis rasa itu, berharap hanya sebuah rasa sesaat, tapi ia tak mampu.
Dorongan rasa itu lebih kuat dari daya yang ia punya. Namun, ia tetap menolak.
“Tidak
Wan. Aku kini sudah berbeda, aku diamanahi adik-adik yang harus kubimbing ke
sebuah jalan yang mampu menenangkan hati mereka kala sedih menghinggapi hati,
membimbing untuk lebih mampu bersabar dan lebih mendekat pada Allah. Aku ini
ibarat mata air, itu kan sumbernya. Kalau keruh, maka ke bawahnya juga akan
keruh. Aku tak ingin menjadi murrobiyah yang tak melakukan apa-apa yang telah
aku katakan. Termasuk tentang rasa pada lawan jenis ini.” Nina menjelaskan
alasannya pada Azwan. Azwan yang juga tarbiyah, sangat mengerti dengan hal itu.
Tetapi, lagi-lagi karena alasan yang sama, ia masih belum bisa memanaj rasa
cintanya. Tetap saja, Nina terbayang dalam angannya.
Rasa ‘tak halal’
membuat Nina dilema, hari-harinya jadi murung. Menangis sendiri dalam kamar
kost menjadi suatu aktivitas yang kini menjadi rutinitasnya kala mengingat
permasalahan hati ini.
“Assalamu’alaikum.”
Arin tiba-tiba masuk ke kostnya.
“Wa’alaikumussalam”
Jawab Nina gelagapan. Ia sedang menangis.
“Anty kenapa? Nangis?”
Tanya Arin ingin tau.
“Enggak, ana kelilipan
tadi, kena debu” Nina bohong.
Arin tak bertanya lagi,
walau sebenarnya ia tau bahwa Nina memang sedang membohonginya. Nina memang
menangis, mengingat rasa cintanya pada Azwan. Sementara itu, komunikasi antara
mereka tetap terjalin. Suatu hari mereka membahas hubungan mereka yang tak tau
entah akan berujung seperti apa itu, melalui ruang obrolan facebook. Nina
diminta Azwan untuk menunggu, tunggu hingga takdir Allah mempersatukan mereka.
Mereka berbicara tentang rasa yang kini sedang mereka punyai.
“Aku tidak akan menunggu
lagi. Dulu aku pernah menunggu dan kini tak akan pernah kulakukan lagi.”
“InsyaAllah, aku dan
kamu akan bersama selamanya. Aku tetap berharap kamu mau menungguku.”
Diam. Tak ada balasan
lagi dari Nina untuk sejenak. Ia memikirkan jawaban yang pas agar Azwan
berhenti datang dalam kehidupannya, agar Azwan tak mengganggu dan menyuruhnya
menunggu lagi.
“Tidak, aku tidak akan
pernah menunggu. Jika nanti Arman pulang dan melamarku, aku tak akan menolaknya
lagi. Dia adalah lelaki sholeh yang sejak dulu aku dambakan, jika aku
menolaknya, aku pasti akan menyesal.”
Nina menggunakan Arman
sebagai senjatanya, lelaki yang beberapa tahun lalu mengajaknya ta’aruf. Benar,
Nina tidak bohong tentang kesholihan hafidz itu. Bahkan ia lebih tampan dari
Azwan, tapi sayang, untuk saat ini dan mungkin untuk waktu-waktu yang akan
datang, hanya Azwan yang menurutnya pas di hati.
Azwan menjawab
pernyataan Nina santai, seakan sangat tau bagaimana Nina. Ia tak mudah
dibohongi dengan pernyataan semacam itu. Azwan memang cukup pintar untuk tetap
membuat Nina memutuskan untuk mengatakan “Ya, aku akan menunggumu.”.
“Nina, aku tau siapa
kamu. Walaupun kamu berkata begitu, aku yakin jauh di dalam lubuk hatimu, tetap
aku yang pertama. Tetap aku yang sedang bersemayam di sana.”
“Kumohon Azwan, lepaskan
aku, jangan menyiksaku.“
“Tidak Nina, aku tidak
menyiksamu. Aku akan berdo’a selalu untuk kebahagiaanmu dunia akhirat.”
“Tapi kamu menyuruhku
menunggu Azwan. Itu sangat menyiksaku. Jika benar kamu menginginkan
kebahagiaanku dunia akhirat, lupakan aku.”
“Ya sudah, okey. Aku
tidak akan mengganggumu lagi Nin, jikapun aku rindu, aku akan bertanya pada
sahabat-sahabat kita yang lain tentangmu. Kurasa itu cukup mengobati. Aku akan
berhenti menggaggumu, tapi jangan pernah suruh aku melupakan rasa ini, karena
ia ada hanya untukmu seorang.”
Berat, malam semakin
larut dan obrolan itu belum jua usai. Kepala Nina semakin berat, ia harus
menanggung kenyataan bahwa ia menyuruh lelaki yang ia harapkan menjadi belahan
jiwanya itu berhenti, menyerah pada sebuah ketetapan yang belum jelas ujungnya.
Sementara Azwan semakin ingin berjuang, ia mencurahkan segala isi hatinya
kepada seorang teman akrabnya.
“Apa kau bisa dipercaya
Azwan?”
“Tentu Nin, kamu pegang
kata-kataku. Aku berjanji padamu, walaupun aku akan sangat kehilangan kontak
denganmu. Harus menahan perih hati karena merindumu.”
“Baiklah kalau begitu, syukron.”
“Afwan Nina.”
Dan obrolan melalui
ruang chatting, ditemani suara-suara binatang malam itu diakhiri dengan
perasaan lega. Lega? Oh, mungkin tidak. Sepertinya, percakapan ini adalah awal
keterpurukan hati Nina. Cinta memang tak bisa ditolak, datangnya juga
tiba-tiba. Jujur atas rasa itu akan lebih indah, karena ia akan tetap tinggal
atau memudar sesuai titah empunya. Ya, mungkin itu yang belum dipahami Nina.
Kadang rintangan dalam hubungan lawan jenis bisa merupakan ujian sebelum
mengecap bahagia akhirnya. Tapi jua bisa jadi adalah sebuah alasan tuhan untuk
tidak mempersatukan keduanya, karena rencaNYA yang lain.
Ah, masalah orang tua
yang belum memberi restu, kakak yang belum menikah lantas tak boleh dilangkahi,
atau seperti bahasa bang Tere Liye, tak boleh melintas, bisa jadi itu pertanda
memang bukan jodoh. Tapi, tentu Nina dan Azwan mengharapkan yang lebih baik,
bahwa itu adalah sebuah rintangan dan tantangan yang harus mereka selesaika
untuk mencapai bahagia.
Bersambung, kapan-kapan.
Semoga pas di hati yaa mb!.. ^-^
@MyFavCor_19:26
eLKaNisa Mahdi..
:D
2 comments:
ehem, ini kisah mb susni ya hehe, mirip2 dikit sama sy
Yo'i.. Mirip yaa... aah,,ikutan aja... hee
Posting Komentar